Detail Berita

1. Kudis (Scab) (Spaceloma fawcetti Jenkins)

Penyakit kudis jeruk merupakan penyakit yang umum dialami oleh anakan batang bawah di pesemaian, khususnya bila yang digunakan sebagai batang bawah adalah jenis jeruk yang rentan seperti jeruk RL. Namun demikian, penyakit kudis jeruk juga dapat merusak tanaman dewasa dari kultivar jeruk lainnya yang rentan. Penyakit ini dapat menjadi penyakit yang turut merusak di pesemaian maupun pada tanaman dewasa bila kondisi lingkungan, khususnya suhu dan kelembaban nisbi mendukung perkembangan penyakit. Pada tulisan ini disajikan uraian mengenai penyakit kudis jeruk yang tersebar luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Sphaceloma Fawcetti. Bagian yang diserang adalah daun, tangkai dan buah.

Gejala dapat terjadi pada daun, ranting, batang anakan, dan buah. Kudis baru merupakan gabungan antara jamur dan jaringan inang, merupakan permukaan terangkat yang berwarna pink sampai cokelat cerah. Luka awal menyerupai menyerupai gejala baru kanker jeruk dan dapat mempunyai tepi yang berair. Seiring dengan perkembangan, permukaan terangkat semakin jelas dan pada akhirnya menggabus dan permukaannya pecah-pecah, berubah warna menjadi cokelat kekuningan dan pada akhirnya abu-abu kotor. Kudis pada jeruk sitrun, jeruk cina tangerine dan jeruk masam terangkat dari permukaan sekitarnya, kudis pada jeruk gedang hampir sama tinggi dengan permukaan di sekitarnya.Gejala yang bisa diketahui adalah bercak kecil yang jernih yang bisa berubah menjadi berwarna kuning atau oranye pada daun. Untuk mengatasi hal ini, Anda bisa menggunakan Fungisida Dithiocarbamate.

Gejala kudis jeruk, A-C: kudis pada permukaan atas daun jeruk masam, D: gejala pada permukaan bawah daun, E dan F: gejala berupa tonjolan mengerucut pada permukaan bawah daun, G dan H: gejala pada buah, I: gejala pada buah jeruk RL, dan J: gejala pada buah tangelo. Sumber, https://peduliketahananhayatijeruk.blogspot.co.id/2016)

 

2. CVPD/HLB (Liberobacter asiaticus)

Penyakit huanglongbing (HLB), yang sebelumnya popular dengan sebutan Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) di Indonesia,  merupakan penyakit degenerasi penyebab menurunnya produktifitas, kualitas bahkan kematian tanaman jeruk di Indonesia, Asia dan Afrika. Bahkan pada lima tahun terakhir dilaporkan mengancam industri jeruk di Florida dan Brazilia.

Di Indonesia, HLB diketahui menyerang pertanaman jeruk sejak tahun 1940-an, hampir seluruh propinsi jeruk di Indonesia saat itu dilaporkan terserang parah. Di Tulungagung misalnya, 62,34% tanaman mati karena HLB, serangan di Bali utara mencapai 60%, atau sekitar 95.564 ha tanaman jeruk mengalami kerusakan parah hanya dalam kurun waktu 1988 sampai 1996, dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 36 miliar pada 1984. Di Sambas-Kalimantan Barat, satu-satunya propinsi yang pernah dinyatakan bebas HLB dan merupakan satu-satunya propinsi terbesar penghasil jeruk Siem di Indonesia, saat ini hampir sebagian besar pertanaman jeruk terancam punah, karena dari 13.000 hektar lahan pertanam jeruk sekitar 2.000 hektar diantaranya kini telah merana dan mati hanya dalam waktu 6 bulan.

Sampai saat ini, pengendalian HLB bertumpu pada penggunaan bibit bebas penyakit, eliminasi tanaman sakit di lapang dan pengendalian serangga penularnya. Pada kondisi lapangan, implementasi ketiga komponen ini tidak berjalan secara efektif karena sulitnya memastikan kehadiran penyakit di lapang sedini mungkin. Hal ini disebabkan belum tersedianya fasilitas pendeteksi penyakit CLas yang praktis untuk kegunaan di lapang. Karena pertimbangan peralatan yang mahal, laboratorium modern dan menuntut operator yang berskill tinggi teknik ini hanya dimanfaatkan untuk keperluan penelitian khususnya di laboratorium saja. Di lapang, deteksi penyakit  umumnya dilakukan secara kualitatif berdasarkan gejala visual yang seringkali ‘misreading’, meragukan dan cenderung ’false negatif’. Akibatnya, pengambilan keputusan pengendalian selalu terlambat, yang berdampak lebih parah pada berkurangnya umur hidup (life span) pertanaman jeruk yang masa produktifnya dalam kondisi normal mampu mencapai > 15 tahun menjadi  5 tahun.

 

 

 

selengkapnya download materi disini

 

Disusun Oleh :

SUMARNO, SP.

KJF Dintanpangan Kabupaten Temanggung