Detail Berita

Keyakinan masyarakat tentang adanya mitos Ki Ageng Makukuhan jika  dimakamkan di tempat tertinggi di Temanggung akan menebarkan benih-benih kemuliaan bagi bumi lereng Sumbing dan masyarakat di sekitarnya. Setidaknya berkah kemuliaan ini sudah dirasakan oleh masyarakat Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, dimana di puncak dusun tertinggi itu terdapat makam yang dipercaya sebagai Makam Ki Ageng Makukuhan. Sementara cerita rakyat versi lain menyebutkan makam Ki Ageng Makukuhan dipindahkan dari Dusun Makukuhan Desa Kedu ke puncak Gunung Sumbing yang berarti lebih tinggi lagi dari ujung tertinggi desa Wonosari.

Namun tanpa memperdebatkan versi manapun, masyarakat desa Wonosari tetap mempercayai bahwa makam keramat di dusun Dukuh itu adalah makam Ki Ageng Makukuhan yang semakin banyak didatangi para peziarah dari berbagai daerah. Sebagai wujud meresapnya kepercayaan itu, serta menunjukkan betapa sejuknya udara dan indahnya panorama matahari terbit dari lereng Sumbing ini, warga membangun Gardu Pandang “Daun Kencana” di dekat lokasi Makam Ki Ageng Makukuhan. Bukan hanya itu, jika peziarah melimpah maka sudah dibangun pula pendopo yang megah dan nyaman untuk beristirahat sambil menikmati desiran angin gunung yang bersahabat.

Nama Daun Kencana juga bukan asal pilih. Dikaitkan dengan komoditas yang selalu diunggulkan dan didambakan hasilnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Daun Kencana diibaratkan pamornya daun Tembakau yang akan memberikan masa kejayaan atau keemasan bagi warga lereng Sumbing yang telah diberi berkah oleh Ki Ageng Makukuhan. Karena itu Pendopo Dusun Dukuh yang sekaligus sebagai tempat atau balai pertemuan warga juga diberi nama Daun Mas Kencana.   Gardu pandang dan Balai Dusun itu dibangun dengan dana swadaya masyarakat dan dianggarkan mencapai Rp. 450 juta lebih.

Pembangunan kedua karya monumental itu memang belum selesai 100 persen. Oleh karena itu ketika Tim Perencana dan Pengembangan Bappeda Provinsi Jawa Tengah belum lama ini  meninjau keberhasilan kampung Dukuh sebagai Kampung KB, maka warga mengusulkan kepada Bappeda Provinsi agar dapat membantu penyaluran pendanaan untuk penyempurnaan bangunan melalui mekanisme perencanaan yang bisa dilakukan. “Kunjungan kami bertujuan untuk melihat langsung kegiatan masyarakat di Kampung KB terkait dengan rencana penganggaran pemerintah tahun 2019”, kata Hery Priyono ketua Tim Bappeda Jateng.

 

Potensi Tersembunyi

Kedatangan rombongan Tim Bappeda Provinsi Jawa Tengah didampingi Tim dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah disambut dengan suasana kekeluargaan yang menunjukkan lekatnya budaya “unggah ungguh tata krama” yang diwujudkan dalam beberapa nyanyian oleh ibu-ibu Bina Keluarga Remaja (BKR) serta remaja setempat di pendopo Daun Mas Kencana. Di sebelah Pendopo juga tersedia sebuah ruangan dimana terpapar “Rumah Data Kependudukan” yang memuat data dan potensi Desa Wonosari. Di desa ini pula Ganjar Pranowo (waktu itu Gubernur Jawa Tengah) mencanangkan program “Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng”.

Potensi yang ada di Kampung KB Wonosari dipaparkan oleh pengurus Kampung KB Daun Mas Kencana Yamuhadi. Ia menyebutkan diantara banyak  potensi tersembunyi yang bisa dikembangkan di Wonosari adalah Desa Wisata dengan pembangunan gardu pandang Daun Kencana, pengembangan alahraga Motor Terabas, program adiwiyata dengan tamanisasi kampung, kegiatan produktif oleh Tri Bina, UPPKS dan pembentukan PIK Remaja dengan kegiatan utama pengembangan seni Kuda Lumping. “Kami memiliki banyak kesenian dan remaja desa sudah sepakat untuk melestarikan seni budaya”, kata Yamuhadi sambil menunjukkan sebuah tenda yang tengah dipasang untuk tempat latihan Kuda Lumping.

Jumlah grup kesenian cukup banyak dan boleh dibilang komplit, ada rebana, campursari, kerawitan, wayang kulit, Kobra Siswa, Topeng Ireng dan lainnya. Tetapi yang kurang diminati remaja hanya kesenian wayang orang dan ketoprak. Alasan mereka karena merasa kesulitan ber-acting dan berekspresi sebagai pemeran cerita ketoprak maupun wayang orang. Kalau belajar lagu-lagu maupun kesenian lainnya bisa melalui tayangan VCD maupun televisi, tetapi belajar wayang orang seperti Ngesti Pandawa Semarang lewat ditayang televisi masih sulit diresapi oleh remaja Wonosari.

Menurut Hery Priyono, Kampung KB merupakan program nasional yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di daerah. Sehubungan dengan rencana pengalihan pembiayaan operasional Kampung KB dari Pusat ke pemerintah Provinsi pada tahun 2019, maka diperlukan perencanaan yang matang oleh Bappeda. “Dengan melihat langsung di Wonosari ini kami mendapatkan masukan dan gambaran untuk perencanaan kedepan”, tandas Hery Priyono yang juga memberikan apresiasi penuh atas progresnya membangun Gardu Pandang dimana pengunjung bisa melihat panorama tujuh gunung dan matahari terbit dari lereng Sumbing.—(Budhy HP)—